Menyaring Konten Youtube
MUNCUL fenomena baru, bahwa masyarakat lebih menggandrungi menonton channel Youtube daripada menyaksikan acara televisi. Ini dilatari keseragaman tayangan yang ditampilkan stasiun televisi. Masyarakat merapat ke channel Youtube sebagai jalan untuk membuang kejenuhan. Televisi hanya menyediakan sajian yang terbatas, berbeda dengan Youtube yang berisi banyak video dengan berbagai topik.
Youtube merupakan sebuah situs yang dirancang untuk memuaskan kehausan masyarakat tentang informasi lewat media audio visual. Prinsip yang dipakai youtube adalah masyarakat sebagai penikmat konten sekaligus bertindak sebagai pemasok konten. Dengan demikian, teori jarum hipodermik yang dimunculkan pada tahun 1950-an tidak berlaku untuk media Youtube.
Asumsi dasar teori ini adalah media punya kuasa yang sangat kuat sehingga penerima pesan komunikasi atau komunikan dinilai pasif. Komunikan akan diam dan menerima begitu saja apa yang disampaikan media. (Ardianto dan Erdinaya, 2004: 59-60). Sedangkan di youtube, mayarakat dapat membuat konten tandingan untuk menyaingi atau membantah konten yang tidak disenangi.
Sayangnya, masyarakat kini justru terjerumus dengan kebebasan yang dimiliki. Tema-tema yang diulas dalam video yang beredar di youtube didominasi kelatahan. Masyarakat cenderung ikut-ikutan apa yang populer tanpa berusaha menciptakan kebaruan. Tren yang sedang berkembang ramai-ramai diulas di youtube. Padahal, apa-
bila masyarakat mau kreatif, banyak gagasan yang bisa digali. Mirisnya, perkembangan youtube sekarang justru diambil alih youtubers (istilah untuk pengguna akun youtube) yang memamerkan kehidupan pribadi mereka.
Pementasan Drama
Youtube dipenuhi drama-drama kehidupan yang sebenarnya tidak layak dibagikan ke ranah umum. Sebenarnya ini sejalan dengan media kerap kali sengaja menghadirkan informasi sesuai dengan agenda yang telah direncanakan. Menurut Mc Luhan, apa yang tersaji media bukanlah kenyataan yang utuh. Realitas yang ditampilkan media adalah realitas yang telah dipilih-pilih atau realitas tangan kedua (second hand reality).
Selain itu, Erving Goffman pernah menyusun teori yang didasari kehidupan seseorang. Menurut Goffman, kehidupan sosial layaknya pentas drama atau film. Peran kehidupan sosial yang dipunyai seseorang tidak lantas melekat begitu saja. Semua itu telah diatur seorang sutradara yang mengomandoi alur pementasan drama tersebut. Kehidupan bak panggung sandiwara.
Seseorang menunjukkan kepada orang lain tentang dirinya dan kesan yang muncul tidak sama. Ini lantaran dia sedang menjalankan peran yang di-sandangnya di panggung drama. Lantas, muncul pertanyaan, apakah kehidupan nyata individu tersebut mirip dengan pertunjukkan yang ia bawakan? Tidak, hanya dirinyalah yang mengetahui sifat dan kehidupannya yang sesungguhnya. Dengan demikian, para youtubers bisa jadi memang sengaja menyamarkan kehidupan aslinya. Target yang ingin diraih adalah memberi kesan kepada masyarakat bahwa kehidupannya selalu bahagia dan berjalan mulus.
Dalam teori dramaturgi bikinan Goffman, ada dua bagian yang musti dipahami. Pertama, panggung depan (front stage). Bagian ini menggambarkan seseorang yang melakoni peran di depan orang-orang. Peran tersebut tidak sesuai dengan kegiatan nyata yang sebenarnya. Panggung depan dibedakan menjadi dua yakni front pribadi dan setting front pribadi. Bahasa tubuh dan bahasa verbal yang dipakai individu termasuk da-
lam front pribadi. Sedangkan setting front pribadi merujuk pada peralatan yang dibawa individu saat pementasan.
Bagian kedua dari teori ini adalah back stage atau panggung belakang. Bagian tersebut bermakna bahwa hanya seseorang itu sendiri yang memahami dan mengetahui kehidupan sosialnya yang sesungguhnya. Individu tersebut punya kendali atas kehidupan sosialnya yang nyata, bukan orang lain. Pantas saja para youtubers yang berbuat negatif di media sosial tenang-tenang saja. Penyebabnya adalah para youtubers tahu kalau mereka memang sedang mereka-mereka kehidupannya di dunia maya. Kebohongan tengah dibuat.
Para youtubers yang kelewat kebablasan seperti awkarin mungkin lupa kalau beranda jejaring sosial mereka ibarat beranda rumah secara fisik di dunia nyata. Jangan sampai privasi terlalu diumbar tanpa ada proteksi. Lalu, para youtubers marah-marah ketika ada netizen yang mengomentari unggahan mereka. Ingat, para youtubers yang awalnya memberikan ruang terbuka kepada netisen untuk masuk tanpa permisi.
Tanpa disadari, video tentang kehidupan sehari-hari yang merambah ranah youtube menganut teori dramatisme yang dicetuskan Burke. Bahasan dalam teori ini adalah tentang perbanding kehidupan dengan pertunjukan. Kehidupan memiliki kemiripan dengan karya te-atrikal, kedunya memerlukan aktor, adegan, tujuan, dan beberapa alat untuk terjadi adegan tersebut. (West dan Turner, 2008: 27).
Youtube menawarkan cara-cara instan kepada publik yang ingin mencapai eksistensi tanpa perlu bersusah payah. Publik tinggal mendokumentasikan aktivitas sehari-hari (yang entah sudah direncanakan atau spontan) lalu mengunggahnya ke youtube. Polesan sana-sini tentu dibutuhkan untuk meningkatkan estetika video yang dibagikan ke youtube. Kehidupan masyarakat yang sebenarnya monoton dibingkai semenarik mung-
kin pada video youtube. Tujuannya adalah mengundang sebanyak mungkin penonton. Bisa juga ini adalah upaya youtubers membunuh anonimitas atau ke-terasingan yang melandanya. Penipuan isi ini pasti sudah sering dilihat.
Cegah Pengeroposan Nilai
Masyarakat sebagai penikmat konten di channel youtube harus mengaplikasikan teori proses seleksi. Teori ini menyatakan, publik punya banyak kemungkinan untuk memilah dan menyeleksi pesan di media massa yang menerpa mereka. Apabila pesan tersebut tidak sesuai dengan prinsip yang dipegang, publik secara otomatis menggugurkan pesan tersebut dan tidak menerimanya. Penerimaan selektif ini mengurangi dampak media. Esensi dari komunikasi massa bukan lagi bergantung pada keutamaan media, tapi pada individu.
Dengan demikian, betapa pun bobroknya konten yang terpampang di channel youtube, publik tidak akan terseret arus keburukan itu. Publik memiliki filter yang berfungsi sebagai senjata memberantas pesan-pesan yang terkontaminasi hujatan, kata-kata seronok, dan perilaku yang menyalahi nilai-nilai luhur bangsa. Tak hanya memegang prinsip penerimaan selektif, publik juga butuh penanaman secara kuat jati diri bangsa. Ini sebagai pencegahan masuknya campur tangan budaya asing yang berniat menggerogoti budaya Indonesia.
Kekhawatiran yang berlebihan terhadap dunia maya perlu disingkirkan. Media maya bukan momok yang harus ditakuti. Internet justru bisa dimanfaatkan untuk mempopulerkan jati diri bangsa. Kekuatan viral yang tersemai di dunia maya wajib dikelola sebagai sarana menyebarkan jati diri bangsa. Youtube patut dilirik sebagai sarana kampanye bahasa Indonesia dan budaya bangsa. Mari bersama-sama bijak menggunakan Youtube.
Penulis, Mahasiswa Jurusan
Hmu Komunikasi,
Fisip Universitas Diponegoro.
No comments:
Post a Comment