Friday, 30 September 2016

CUKAI ROKOK
NAIK
13%
 
MOCHAMAD IRCHAM | " fredyfcgyahoocom
Jakarta | Jurnal Bogor
KEMENTERIAN        Keuangan melalui   Ditjen   Bea   Cukai resmi menaikkan tarif cukai sebesar 13,46 % untuk jenis hasil tembakau Sigaret Putih Mesin (SPM) dan terendah adalah sebesar 0% untuk hasil tembakau Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan 1IIB.
Dengan             demikian
kenaikan rata-rata terjadi sebesar 10,54% yang berpengaruh terhadap kenaikan harga jual eceran (HJE) dengan rata-rata sebesar 12,26%. Kenaikan tarif cukai rokok resmi naik pada awal tahun 2017. Peraturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan                  nomor
147/PMK.010/2016.
Ketua Umum Asosiasi Pcngsaha Indpnesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani menanggapi kenaikan tarif cukai rokok awal tahun depan. Menurut dia, kenaikan tarif cukai rokok yang -tiimulai awal tahun depan terbilang tinggi. Seharusnya pemerintah bertahap menaikan tarif cukai rokok yang nantinya berimbas kepada tingkat produksi rokok.
"Intinya            mengenai
masalah cukai menurut pandangan kami sebaiknya tidak diberlakukan setinggi itu. Karena sepengetahuan kami harusnya dilakukan bertahap, sehingga tidak langsung 13% karena itu akan memukul produksi kita," jelas Hariyadi di Kantor Apindo, Jakarta Selatan, Jumat (30/9).
"Tapi kebiasaan dari pemerintah itu kalau kekurangan dana yang nomor satu dinaikkan adalah cukai," tambah Hariyadi.'
Menurut dia, dengan meningkamya cukai rokok pada  2017  akan  mengaki-
batkan turunnya angka produksi rokok di Indonesia. Turunnya angka produksi juga akan berimbas pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pegawai dalam jumlah besar dan petani tembakau. "Pasti ada penurunan produksi. Kalau begitu pasti ada pengurangan karyawan dan itu tidak hanya karyawan, petani tembakau juga akan terkena," jelas Hariyadi.
Selain itu, kenaikan cukai rokok juga akan menimbulkan maraknya cukai rokok illegal, sehingga bertambahnya kasus penjualan rokok tanpa pita cukai resmi akan berkontribusi terhadap kerugian negara. "Kalau cukainya terlalu tinggi, maka mengakibatkan terjadi cukai palsu," ujar Hariyadi.
Pemerintah menaikkan cukai dengan rata-rata tertimbang sebesar 10,54% dan kenaikan harga jual eceran (HJE) dengan rata-rata sebesar 12,26%. Dengan kenaikan tersebut, maka ditargetkan penerimaan sebesar Rp 149,8 triliun dari cukai rokok atau 11,72% dari total penerimaan negara 2017.
"Dari kenaikan ini, ditargetkan sumbangan ke negara total sebesar Rp 149,8 triliun," kata Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers di kantor pusat DKJBC, Jakarta, Jumat (30/9).
Sri Mulyani menjelaskan
bahwa kontribusi cukai terhadap negara makin tahun semakin menurun. Terlihat untuk tahun 2014 kontribusi cukai terhadap penerimaan negara adalah sebesar 12,29%, tahun 2015 sebesar 11,68%, dan tahun 2016 sebesar 11,72%.
"Tren pertahun selalu menurun, dan ini tandanya baik, karena cukai bukan sumber penerimaan namun sebagai pengendalian konsumsi," paparnya.
Sri Mulyani menambahkan dari penerimaan cukai rokok, ada pengembalian sebagian dana ke pemerintah daerah berupa dana alokasi kesehatan, atau dikenal dengan istilahearmarking. Di tahun 2014 dana earmarking sebesar 11,2 Triliun, tahun 2015 sebesar 15.14 Triliun, dan tahun 2016 diperkirakan sebesar 17 Triliun.
"Adanya peningkatan pada jumlah dana yang dialokasikan, menunjukkan besarnya perhatian pemerintah terhadap aspek kesehatan. Disamping untuk kesehatan, dana tersebut juga diperuntukkan bagi persiapan pengalihan orang yang bekerja dalam industri rokok untuk beralih ke industri lain," tandasnya.
Tarif cukai untuk rokok akhirnya diputuskan naik dengan rata-rata tertimbang sebesar 10,54% dan kenaikan harga jual eceran (HJE) dengan rata-rata sebesar 12,26%.
Ini artinya harga rokok tidak naik          menjadi          Rp
50.000/bungkus
Menteri Keuangan menjelaskan, untuk menaikkan tarif cukai rokok mempertimbangkan banyak hal. Besaran yang diputuskan sekarang dinilai sudah maksimal. Tahun lalu rata-rata tertimbang 11,33%, tahun ini 10,54%, turun sedikit dibandingkan tahun lalu. Tapi kenaikan dua tahun terakhir telah dianggap paling maksimal dilihat terhadap aspek penerimaan negara dan produksi," ujarnya.
Sri Mulyani mengakui, kalau dilihat dari aspek kesehatan memang kenaikan tarif cukai bisa dikatakan kecil. Namun dalam penetapan tarif, harus melihat banyak aspek. "Kalau cuma dilihat dari satu aspek kesehatan misalnya naiknya lebih kecil, tapi kalau dari yang lainnya kan harus dilihat dan dipertimbangkan. Misalnya untuk penindakan rokok ilegal. Ini juga menjadi perhatian kami," terangnya.
Hal yang senada juga disampaikan oleh Dirjen Bea Cukai, Heru Pambudi. Menurut dia, untuk tarif cukai dinaikkan sangat tinggi hingga harganya Rp 50.000 perbungkus tentu tidak mencakup semua aspek. "Kan tidak bisa begitu. Menentukan tarif itu semua sudah dihitung dan dipertimbangkan," tegasnya. ■

No comments:

Post a Comment