Jessica Mulai Tersenyum
Jaksa-Pengacara Saling Bentak Dari Aromanya Bukan Sianida
Palmerah. Warta Kota
Pada sidang ke-19. Rabu (7/9). terdakwa Jessica Kumala Wongso mulai tersenyum. Padahal sejak sidang pertama digelar, sangat jarang Jessica terlihat tersenyum di persidangan.
Senyum Jessica terlihat usai mendengarkan kesaksian ahli patologi forensik Ul Djaja Surya Atmadja yang dihadirkan tim kuasa hukum Jessica Kumala Wongso dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kemarin.
Sementara suasana sidang kasus pembunuhan Wayan Mima Salihin Ini sempat memanas ketika Jaksa menanyakan kapasitas saksi ahli yang diajukan oleh pengacara terdakwa. Pertanyaan itii diajukan karena Jaksa menilai ada perbedaan keterangan tentang ciri-ciri Jenazah korban keracunan sianida.
"Saya bingung, di hasil tok-slkologi Labfor, dikatakan bibir korban berwarna kebiruan. Tapi. saudara (saksi) ahli bilang, warna bibir korban malah kemerahan. Padahal kan (saksi) ahli mengaku tidak memeriksa korban. Itu bagaimana? kata Jaksa Sugih Carmalo kepada saksi ahli. dokter Djaja Surya Atmadja. "Bukan begitu. Pak.
Anda salah...," kata Djaja.
Pernyataan Djaja spontan disambut oleh Sugih. Saya Ini Jaksa! Anda tidak bisa bilang kalau saya salah. Jangan sembarangan ya!" kata Sugih dalam nada tinggi. Sikap Jaksa memancing reaksi Otto Hasibuan, pengacara terdakwa. Tolong saksi saya Jangan diben tak -bentak! Tanyakan saja. nanti dijawab seperti biasa," kata Otto. "Supaya tidak ribut, penuntut umum silakan bertanya, kalau saksi bisa jawab, silakan dijawab. Kalau Udak. Jangan dijawab," ucap ketua majelis hakim. Kisworo.
Dokter Djaja kemudian menjelaskan bahwa dia membandingkan antara teori orang terpapar racun sianida dengan fakta jenazah Mirna yang kebl-ru-biruan. Menurut Djaja, teori menyatakan bahwa salah satu tanda yang keracunan sianida adalah blbimya berwarna keme-rah-merahan. bukan keblru-bi-ruan. Sedangkan pada Jenazah Mima Salihin, bibimya berwarna kebiru-biruan. Tunjuk-tunjuk
Ketegangan di ruang sidang
PN Jakarta Pusat, pada Rabu (7/9) petang Juga terjadi ketika Jaksa Hari Wibowo menanyakan bidang keahlian Djaja. "Sudah saya katakan tadi. saya ahli forensik, meliputi toksikologl Juga. Toksikologl Juga ada macam-macam, ada toksikologl obat. ada..." kata Djaja yang tak menyelesaikan kallmatnya karena dipotbng oleh Jaksa Hari Wibowo. "Nah. ini Jadi meragukan, sebenarnya kapasitas Anda hadir di sini sebagai ahli apa?" tanya Hari.
Sebelum ada penjelasan Iebih detail dari dokter Djaja, Jaksa Shandy Handika menanyakan data yang digunakan Djaja untuk menyampaikan kesaksian di persidangan. Djaja menyatakan ia hanya menganalisa dokumen visum korban. "Satu (data), visum-nya Mima." jawabnya.
Djaja juga tak bisa menunjukkan data yang sudah dianalisis. "Anda tahu datar kata jaksa. "Sebenarnya Anda tahu nggak sih apa yang Anda analisis?* kata Shandy sambil menunjuk Djaja.
Sikap Shandy kembali memancing reaksi Otto Hasibuan. "Jangan bentak-bentak saksi saya. tolong Anda hargai saksi saya! teriak Otto. "Anda hargai juga saya bertanya. Itu orang yang di belakang (kuasa hukum) tolong jangan tunjuk-tunjuk dulu." sahut Shandy.
Menular
Ketegangan antara jaksa penuntut umum dan penasihat hukum terdakwa menular ke pengunjung sidang. Beberapa pengunjung berteriak dan mengucapkan kata-kata kasar. Saat suasana semakin gaduh, ketua majelis hakim Kisworo menskors sidang hingga pukul 19.00 WIB. Saat yang sama. polisi masuk ke ruang sidang dan mengarahkan pengunjung untuk keluar.
Otto meminta jaksa mengikuti aturan main di persidangan. Menurutnya. Jaksa tidak perlu membentak saksi ahli yang tergolong dokter senior. "Jadi saya hanya mau bilang, tidak usah dibentak-bentak. dia orangtua. Kalau jawaban tidak cocok biarin, namanya beda pendapat, biasa." ujarnya.
Sidang kasus pembunuhan Wayan Mima Salihin kembali digelar di PN Jakarta Pusat, Rabu (7/9) siang. Agenda sidang itu sama dengan sidang hari sebelumnya yakni pemeriksaan saksi yang diajukan pengacara terdakwa.
Saksi ahli yang kemarin dihadirkan adalah ahli toksl-kologi Universitas Indonesia (UD. dokter Djaja Surya Atmadja. Dalam kesaksiannya. Djaja membeberkanpengalamannya saat mem-formalin jenazah Mima.
"Saat saya disuruh formalin jenazah, saya ada tanya, apa penyebab meninggalnya? Saya dikasih tahu. katanya habis minum kopi terus mati. Saya pikir, ini kematian tidak wajar, habis minum kopi mati. apalagi orangnya masih muda." kata Djaja.
Djaja pun bertanya kepada penyidik, mengapa jenazah Mirna dlformalln padahal belum ada permintaan otopsi jenazah. "Saya dilema Juga. Jenazah belum diotopsi, masa sudah dlformalln. Kata penyidik, pihak keluarga tidak mau korban diotopsi. Itu yang bikin saya dilema, karena setelah diformalin, penyidik sudah tidak bisa otopsi jenazah lagi." katanya.
Djaja juga mengaku sempat memeriksa Mirna secara sederhana. Caranya adalah menekan bagian dada dan ulu hati jenazah lalu mengenali aroma yang keluar dari mulut Jenazah. Jika yang muncul aroma seperti kacang almond busuk, bisa dipastikan Jenazah itu adalah korban keracunan sianida.
"Kalau aroma bawang, berarti keracunan arsen. Saya sudah coba. tidak ada aroma bawang maupun kacang almond busuk. Sayangnya, tidak ada permintaan otopsi dari penyidik. Kalau ada permintaan otopsi, maka akan diotopsi. Kalau tidak, ya tidak, kata Djaja.
Apalagi, sudah ada surat kemauan dari dokter di UGD Rumah Sakit Abdi Waluyo. Dalam pandangan Djaja, jika sesosok Jenazah sudah mendapat surat kematian, maka jenazah tersebut dianggap meninggal wajar, dalam pengertian bukan korban tindak pidana, sehingga tidak perlu dilakukan otopsi.
Percuma
Ketika mendapat kesempatan berbicara, jaksa Ardito Muwardi menanyakan alternatif untuk menentukan penyebab kematian seseorang. Djaja pun menjawab, apabila dia yang memeriksa Jenazah Mirna. maka dia akan menerangkan kepada penyidik bahwa pemeriksaan luar (memeriksa fisik jenazah tapi tidak melakukan otopsi) bisa saja dilakukan tetapi hasilnya tidak akan optimal.
"Penyebab kematian nggak tahu. Nggak tahu Juga siapa pembunuhnya. Jadi jangan dipaksa (menentukan penyebab kemauan). Kalau mau dipaksa, ya gail kubur.* ujar Djaja.
Djaja menjelaskan, pada kasus Mirna. pemeriksaan luar yang disertai pengambilan sampel orban tubuh, adalah tindakan percuma. Sebab, hasil pemeriksaan sampel tersebut tidak memberikan informasi apapun selain ada ada tidak adanya suatu zat di dalam sampel organ tubuh. "Pemeriksaan luar mah percuma. Diperiksa positif negatif (suatu zat), tetap saja enggak bisa ditentukan (sebab kematian). Kalau saya yang jadi dokternya, saya akan menyarankan otopsi full. Dengan demikian kasus selesai." katanya.
Saksi direktur
Sebelum Djaja, kuasa hukum Jessica juga mengajukan saksi Direktur Pemasaran PT KIA Mobil Indonesia. Hartanto Sukmono. Alasannya. Hartanto merupakan salah seorang saksi yang berada di lokasi saat kejadian.
Dalam kesaksiannya. Hartanto menceritakan Jika kehadiran dirinya di Cafe Olivier West Mall Grand Indonesia. Tanah Abang. Jakarta Pusat pada Rabu (6/1) lalu itu karena alasan rapat dengan bebe-rapa rekannya yang berjumlah empat hingga lima orang.
Hartanto yang datang pada sekira pukul 16.00 WIB awalnya tidak menyadari sosok perempuan yang belakangan diketahui merupakan Jessica, terdakwa atas pembunuhan Mirna. Karena itu. dirinya tidak begitu memperhatikan gerak gerik Jessica sebelum akhirnya bertemu dengan Mirna dan Hanl pada sekira pukul 16.30 WIB.
"Saya sedang mengadakan meeting di kafe Olivier hari itu sama empat sampai lima orang lainnya. Karena saya lagi meeting, saya tidak memperhatikan detil. Saya hanya mendengar ada suara perempuan dan noleh sebentar. dia (Jesslca-red) lagi berdiri sambil nelepon." ungkapnya di depan majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Rabu (7/9).
Waktu pun berlalu, pertemuan antara Hartanto dengan rekannya kemudian terpecah dengan keriuhan sejumlah pegawai Cafe Olivier serta sejumlah pengunjung yang datang mendekati meja nomor 54 yang ditempati oleh Jessica. Mima dan Hani. Hartanto katanya sempat bangun dari tempat duduknya untuk melihat kejadian.
Seorang perempuan yang diketahui belakangan adalah Mirna. katanya, sudah terlihat duduk dengan posisi kepala bersandar di sofa. Mima tidak sadarkan diri dengan posisi kepala menghadap langit-langit Cafe Olivier.
Temannya Itu (Mlrna-red) sampai dibawa pakai kursi roda. Karena tempatnya semplt-mau lewat agak susah, kursi saya digeser pegawai, saya berdiri. Saya lihat, perempuan yang di kursi roda kakinya lurus ke bawah, seperti orang tertidur dan dibawa keluar cafe." ungkapnya, (gle/dwi/ltps)
Jaksa-Pengacara Saling Bentak Dari Aromanya Bukan Sianida
Palmerah. Warta Kota
Pada sidang ke-19. Rabu (7/9). terdakwa Jessica Kumala Wongso mulai tersenyum. Padahal sejak sidang pertama digelar, sangat jarang Jessica terlihat tersenyum di persidangan.
Senyum Jessica terlihat usai mendengarkan kesaksian ahli patologi forensik Ul Djaja Surya Atmadja yang dihadirkan tim kuasa hukum Jessica Kumala Wongso dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kemarin.
Sementara suasana sidang kasus pembunuhan Wayan Mima Salihin Ini sempat memanas ketika Jaksa menanyakan kapasitas saksi ahli yang diajukan oleh pengacara terdakwa. Pertanyaan itii diajukan karena Jaksa menilai ada perbedaan keterangan tentang ciri-ciri Jenazah korban keracunan sianida.
"Saya bingung, di hasil tok-slkologi Labfor, dikatakan bibir korban berwarna kebiruan. Tapi. saudara (saksi) ahli bilang, warna bibir korban malah kemerahan. Padahal kan (saksi) ahli mengaku tidak memeriksa korban. Itu bagaimana? kata Jaksa Sugih Carmalo kepada saksi ahli. dokter Djaja Surya Atmadja. "Bukan begitu. Pak.
Anda salah...," kata Djaja.
Pernyataan Djaja spontan disambut oleh Sugih. Saya Ini Jaksa! Anda tidak bisa bilang kalau saya salah. Jangan sembarangan ya!" kata Sugih dalam nada tinggi. Sikap Jaksa memancing reaksi Otto Hasibuan, pengacara terdakwa. Tolong saksi saya Jangan diben tak -bentak! Tanyakan saja. nanti dijawab seperti biasa," kata Otto. "Supaya tidak ribut, penuntut umum silakan bertanya, kalau saksi bisa jawab, silakan dijawab. Kalau Udak. Jangan dijawab," ucap ketua majelis hakim. Kisworo.
Dokter Djaja kemudian menjelaskan bahwa dia membandingkan antara teori orang terpapar racun sianida dengan fakta jenazah Mirna yang kebl-ru-biruan. Menurut Djaja, teori menyatakan bahwa salah satu tanda yang keracunan sianida adalah blbimya berwarna keme-rah-merahan. bukan keblru-bi-ruan. Sedangkan pada Jenazah Mima Salihin, bibimya berwarna kebiru-biruan. Tunjuk-tunjuk
Ketegangan di ruang sidang
PN Jakarta Pusat, pada Rabu (7/9) petang Juga terjadi ketika Jaksa Hari Wibowo menanyakan bidang keahlian Djaja. "Sudah saya katakan tadi. saya ahli forensik, meliputi toksikologl Juga. Toksikologl Juga ada macam-macam, ada toksikologl obat. ada..." kata Djaja yang tak menyelesaikan kallmatnya karena dipotbng oleh Jaksa Hari Wibowo. "Nah. ini Jadi meragukan, sebenarnya kapasitas Anda hadir di sini sebagai ahli apa?" tanya Hari.
Sebelum ada penjelasan Iebih detail dari dokter Djaja, Jaksa Shandy Handika menanyakan data yang digunakan Djaja untuk menyampaikan kesaksian di persidangan. Djaja menyatakan ia hanya menganalisa dokumen visum korban. "Satu (data), visum-nya Mima." jawabnya.
Djaja juga tak bisa menunjukkan data yang sudah dianalisis. "Anda tahu datar kata jaksa. "Sebenarnya Anda tahu nggak sih apa yang Anda analisis?* kata Shandy sambil menunjuk Djaja.
Sikap Shandy kembali memancing reaksi Otto Hasibuan. "Jangan bentak-bentak saksi saya. tolong Anda hargai saksi saya! teriak Otto. "Anda hargai juga saya bertanya. Itu orang yang di belakang (kuasa hukum) tolong jangan tunjuk-tunjuk dulu." sahut Shandy.
Menular
Ketegangan antara jaksa penuntut umum dan penasihat hukum terdakwa menular ke pengunjung sidang. Beberapa pengunjung berteriak dan mengucapkan kata-kata kasar. Saat suasana semakin gaduh, ketua majelis hakim Kisworo menskors sidang hingga pukul 19.00 WIB. Saat yang sama. polisi masuk ke ruang sidang dan mengarahkan pengunjung untuk keluar.
Otto meminta jaksa mengikuti aturan main di persidangan. Menurutnya. Jaksa tidak perlu membentak saksi ahli yang tergolong dokter senior. "Jadi saya hanya mau bilang, tidak usah dibentak-bentak. dia orangtua. Kalau jawaban tidak cocok biarin, namanya beda pendapat, biasa." ujarnya.
Sidang kasus pembunuhan Wayan Mima Salihin kembali digelar di PN Jakarta Pusat, Rabu (7/9) siang. Agenda sidang itu sama dengan sidang hari sebelumnya yakni pemeriksaan saksi yang diajukan pengacara terdakwa.
Saksi ahli yang kemarin dihadirkan adalah ahli toksl-kologi Universitas Indonesia (UD. dokter Djaja Surya Atmadja. Dalam kesaksiannya. Djaja membeberkanpengalamannya saat mem-formalin jenazah Mima.
"Saat saya disuruh formalin jenazah, saya ada tanya, apa penyebab meninggalnya? Saya dikasih tahu. katanya habis minum kopi terus mati. Saya pikir, ini kematian tidak wajar, habis minum kopi mati. apalagi orangnya masih muda." kata Djaja.
Djaja pun bertanya kepada penyidik, mengapa jenazah Mirna dlformalln padahal belum ada permintaan otopsi jenazah. "Saya dilema Juga. Jenazah belum diotopsi, masa sudah dlformalln. Kata penyidik, pihak keluarga tidak mau korban diotopsi. Itu yang bikin saya dilema, karena setelah diformalin, penyidik sudah tidak bisa otopsi jenazah lagi." katanya.
Djaja juga mengaku sempat memeriksa Mirna secara sederhana. Caranya adalah menekan bagian dada dan ulu hati jenazah lalu mengenali aroma yang keluar dari mulut Jenazah. Jika yang muncul aroma seperti kacang almond busuk, bisa dipastikan Jenazah itu adalah korban keracunan sianida.
"Kalau aroma bawang, berarti keracunan arsen. Saya sudah coba. tidak ada aroma bawang maupun kacang almond busuk. Sayangnya, tidak ada permintaan otopsi dari penyidik. Kalau ada permintaan otopsi, maka akan diotopsi. Kalau tidak, ya tidak, kata Djaja.
Apalagi, sudah ada surat kemauan dari dokter di UGD Rumah Sakit Abdi Waluyo. Dalam pandangan Djaja, jika sesosok Jenazah sudah mendapat surat kematian, maka jenazah tersebut dianggap meninggal wajar, dalam pengertian bukan korban tindak pidana, sehingga tidak perlu dilakukan otopsi.
Percuma
Ketika mendapat kesempatan berbicara, jaksa Ardito Muwardi menanyakan alternatif untuk menentukan penyebab kematian seseorang. Djaja pun menjawab, apabila dia yang memeriksa Jenazah Mirna. maka dia akan menerangkan kepada penyidik bahwa pemeriksaan luar (memeriksa fisik jenazah tapi tidak melakukan otopsi) bisa saja dilakukan tetapi hasilnya tidak akan optimal.
"Penyebab kematian nggak tahu. Nggak tahu Juga siapa pembunuhnya. Jadi jangan dipaksa (menentukan penyebab kemauan). Kalau mau dipaksa, ya gail kubur.* ujar Djaja.
Djaja menjelaskan, pada kasus Mirna. pemeriksaan luar yang disertai pengambilan sampel orban tubuh, adalah tindakan percuma. Sebab, hasil pemeriksaan sampel tersebut tidak memberikan informasi apapun selain ada ada tidak adanya suatu zat di dalam sampel organ tubuh. "Pemeriksaan luar mah percuma. Diperiksa positif negatif (suatu zat), tetap saja enggak bisa ditentukan (sebab kematian). Kalau saya yang jadi dokternya, saya akan menyarankan otopsi full. Dengan demikian kasus selesai." katanya.
Saksi direktur
Sebelum Djaja, kuasa hukum Jessica juga mengajukan saksi Direktur Pemasaran PT KIA Mobil Indonesia. Hartanto Sukmono. Alasannya. Hartanto merupakan salah seorang saksi yang berada di lokasi saat kejadian.
Dalam kesaksiannya. Hartanto menceritakan Jika kehadiran dirinya di Cafe Olivier West Mall Grand Indonesia. Tanah Abang. Jakarta Pusat pada Rabu (6/1) lalu itu karena alasan rapat dengan bebe-rapa rekannya yang berjumlah empat hingga lima orang.
Hartanto yang datang pada sekira pukul 16.00 WIB awalnya tidak menyadari sosok perempuan yang belakangan diketahui merupakan Jessica, terdakwa atas pembunuhan Mirna. Karena itu. dirinya tidak begitu memperhatikan gerak gerik Jessica sebelum akhirnya bertemu dengan Mirna dan Hanl pada sekira pukul 16.30 WIB.
"Saya sedang mengadakan meeting di kafe Olivier hari itu sama empat sampai lima orang lainnya. Karena saya lagi meeting, saya tidak memperhatikan detil. Saya hanya mendengar ada suara perempuan dan noleh sebentar. dia (Jesslca-red) lagi berdiri sambil nelepon." ungkapnya di depan majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Rabu (7/9).
Waktu pun berlalu, pertemuan antara Hartanto dengan rekannya kemudian terpecah dengan keriuhan sejumlah pegawai Cafe Olivier serta sejumlah pengunjung yang datang mendekati meja nomor 54 yang ditempati oleh Jessica. Mima dan Hani. Hartanto katanya sempat bangun dari tempat duduknya untuk melihat kejadian.
Seorang perempuan yang diketahui belakangan adalah Mirna. katanya, sudah terlihat duduk dengan posisi kepala bersandar di sofa. Mima tidak sadarkan diri dengan posisi kepala menghadap langit-langit Cafe Olivier.
Temannya Itu (Mlrna-red) sampai dibawa pakai kursi roda. Karena tempatnya semplt-mau lewat agak susah, kursi saya digeser pegawai, saya berdiri. Saya lihat, perempuan yang di kursi roda kakinya lurus ke bawah, seperti orang tertidur dan dibawa keluar cafe." ungkapnya, (gle/dwi/ltps)
No comments:
Post a Comment