'Full Day School', Problem bagi Sekolah Miskin
Ya inilah pendidikan
Indonesia, terlampau
banyak konsep yang
terkadang membingungkan
dan tampak otopis.
Kebijakan satu belum
tuntas, mucul kebijakan
baru yang justru membuat
bingung bagi masyarakat
dan guru sebagai pelaku di
lapangan. Mestinya,
Mendikbud Muhadjir
Effendy, lebih fokus pada
pemantapan kurikulum
2013. Justru yang
terpenting adalah
bagaimana kurikulum 2013
ini disosialisasikan kepada
guru, agar memahami
konsep kurikulum yang
sebenarnya.
BELUM reda perbincangan pro-kontra reshafle Mendikbud yang terkesan ada unsur politis, kehadiran Muhadjir Effendy, yang belum ada satu bulan ini sudah membuat heboh dan kejutan dunia pendidikan lagi. Menteri baru ini mau menerapkan gagasan full day school untuk anak Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Gagasan Full Day School yang disampaikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy memang masih menjadi sebuah wacana. Gagasan Mendikbud baru ini memunculkan pro dan kontra dari para pengamat pendidikan. Bagi pengamat yang pro, pasti menganggap sangat bagus, karena anak akan terus belajar di sekolah dan tidak akan terkontaminasi dengan budaya yang ada di luar sekolah.
Sementara bagi yang kontra, memberi komentar bahwa dari sisi psikologis justru akan memasung anak untuk hidup bebas dalam pengembangan kreatifitas di luar sekolah. Bagi sekolah yang miskin dan serba kekurangan fasilitas, justru full day school akan menjadikan negara bagi para siswa. Dan gagasan tersebut sebetulnya bukan sesuatu yang baru, karena sejak dulu ada yaitu dipraktikkan di pondok pesantren.
Jika full day school ini diterapkan di semua sekolah formal (persekolahan), tanpa berdampingan dengan pesantren, rasanya sulit dilakukan, lebih-lebih sekolah yang tidak didukung oleh fasiltas dan pembiayaan yang cukup.
Justru tidak hanya modal sarana dan pembiayaan, tetapi harus didukung oleh sumber daya (guru-guru) yang mempunyai daya kreatifitas, inovasi dan ketangguhan dalam memberikan pelayanan dan pendampingan kepada para siswanya.
Ini sebenarnya tantangan berat, mampukah sekolah menjadi surga bagi anak yang benar berjam-jam dan berhari-hari hidup di sekolah? Kalau semua sekolah secara representatif nyaman, indah, menyejukan dan ada layanan psikologis dari pembimbing yang menyenangkan, silakan dilakukan full day, jika tidak bisa, maka selayaknya tidak perlu dilakukan, justru akan menjadi
neraka bagi anak.
Tidak Sepakat
Gagasan full day school banyak yang menolak, alasannya sederhana. Sekolah di Indonesia secara umum (SD dan SMP) berada di wilayah pedesaan dan pinggiran kota, dan rata-rata fasilitas dan pembiayaan keuangan sangat minim, dan hal ini berdampak pada kualitas guru yang rendah serta etos kerjanya rendah tidak bisa diandalkan.
Saya sependapat dengan tulisan Saudara M.Nafiul Haris yang berjudul Logika Terbalik Mendikbud, yang dimuat di harian ini. Secara konseptual, gagasan ini tidak dapat diterima oleh semua pengguna jasa pendidikan. Lebih-lebih sekolah yang berada di pinggiran kota, jauh dari keramaian dan miskin fasilitas. (Wawasan, 19/8)
Menurut Nafiul, bahwa "Persoalannya, kesenjangan antara kualitas guru dan sarana pendidikan begitu luas. Masih banyak sekolah dengan fasilitas minim. Tidak sedikit pula sekolah yang berlokasi di labirin lembah dan bukit yang harus ditempuh dengan berjalan kaki berjam-jam. Jika kebijakan sekolah seharian diterapkan, bukan tidak mungkin jurang kualitas pendidikan antara kota dan daerah bakal semakin lebar."
Ada yang menolak lebih tegas. Menurut Pendiri Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indoenesi (LP3I), Syahrial Yusuf dalam menanggapi gagasan Mendikbud mengenai full day school, menuturkan, bahwa gagasan ini belum bisa dilakukan sepenuhnya, mengingat wilayah Indonesia sendiri memiliki kondisi yang berbeda-beda secara geografis dan infrastruktur.
Menurut Syahrial, "Kalau infrastruktur merata sih mungkin tak terlalu masalah ya, tapi dilihat dari realitas infrastruktur fasilitas pendidikan saja masih banyak temuan yang memprihatinkan loh. Belum lagi biaya yang dikeluarkan untuk implementasi nanti, baik dari sisi sekolah atau pemerintah dan wali murid," ungkapnya dalam keterangan
tertulis yang diterima Okezone, Minggu (21/8/2016).
Syahrial menjelaskan, jika wacana full day school tersebut belum memiliki konsep serta teknis yang tampak, ada baiknya tidak dilempar ke publik. Sebab, hal itu justru akan terkesan cenderung dipaksakan.
Ada kelompok masyarakat yang menolak lebih tegas, menanggapi lontaran wacana full day ini, yaitu dari kelompok pengacara pbublik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Alldo Fellix Januardy. "Kami sadar saat ini masih sebagai wacana. Tetapi jika ini diformalkan maka akan jadi Permendikbud. Nah, kalau sudah ditentang tetapi tetap dilaksanakan maka nanti langkah kami mengajukan yudicial review di MK," tuturnya, dalam konfersnsi pers masyarakat peduli pendidikan di Kantor LBH Jakarta, Kamis (http://news.okezo-ne.com/18/8l2016).
Alldo mengungkapkan, pernyataan Mendikbud Muhadjir telah menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Pihaknya pun meminta Mendikbud untuk mengubah paradigma pendidikan sehingga siswa tidak menjadi objek.
"Sikap kami akan tetap mengawal dan mengadvokasi kebijakan Kemdikbud. Jika ada yang merugikan, kami siap mengajukan gugatan hukum," ujarnya.
Ya inilah pendidikan Indonesia, terlampau banyak konsep yang terkadang membingungkan dan tampak otopis. Kebijakan satu belum tuntas, mucul kebijakan baru yang justru membuat bingung bagi masyarakat dan guru sebagai pelaku di lapangan. Mestinya, Mendikbud Muhadjir Effendy, lebih fokus pada pemantapan kurikulum 2013. Justru yang terpenting adalah bagaimana kurikulum 2013 ini disosialisasikan kepada guru, agar memahami konsep kurikulum yang sebenarnya.B
Penulis,
Dosen Universitas Islam Nahdlatul Ulama (UNISNU) Jepara, Kandidat Doktor Unnes, dan Asesor BAP-SM Prov. Jateng.
No comments:
Post a Comment