Sunday, 4 September 2016

Proyek Tax Amnesty
 
SUNGGUH sangat disayangkan, konkret kebijakan prestisius tax amnesty ternyata tidak sedahsyat yang dibayangkan. Kendati Presiden Jokowi sendiri bertindak memberikan sosialisasi di beberapa daerah di Indonesia, nilai perolehannya masihjauh dari perkiraan dan bertambah sangat pelan. Sampai dengan 6 Agustus lalu, jumlah uang tebusan masih Rp 183,45 miliar, sedangkan deklarasi total harta yang di-disclose sejauh ini baru mencapai Rp 8398 triliun.
Kinerja tax amnesty sebulan sejak diberlakukan ini sangat ironis, padahal sampai September nanti adalah penawaran tebusan terendah sebesar 2 persen (repatriasi) dan 4 persen (deklarasi). Tebusan pada periode berikutnya akan menjadi progresif dan mahal sehingga dapat diramaikan bagaimana respons wajib pajak nanti
Maka, terbayang bahwa target tebusan Rp 165 triliun sampai dengan Maret 2017 adalah hal yang sangat muluk. Ironisnya, target awal tebusan pengampunan pajak itu sebetulnya lebih besar, yaitu Rp 180 triliun. Dengan target tebusan sebesar itu, seharusnya nilai tebusan tax amnesty minimal mencapai Rp 16 triliun per bulan atau lebih besar karena akan bergerak turun pada periode akhir.
Awal gagasan tax amnesty sebetulnya terkait dokumen Panama Papers pada Mei 2016. Ribuan nama orang Indonesia masuk dalam dokumen yang diterbitkan oleh Mossack Fonseca Co itu, yaitu 2361 orang. Kementerian Keuangan kemudian menyatakan bahwa 1.010 orang dari daftar tersebut adalah wajib pajak pribadi, sedangkan 28 nama adalah wajib pajak badan lembaga. Dari WP pribadi tersebut, yang mempunyai NPWP 272 orang, sudah lapor
SPT 225 orang, dan yang sudah mendapat SKP 137 orang.
Tingginya target tebusan tax amnesty yang bisa disebut ambisius itu disebabkan dugaan besarnya harta orang Indonesia di luar negeri yang tidak dideklarasikan. Kementerian Keuangan menduga harta tersebut dinilai dengan uang sekarang yang mencapai sedikitnya Rp 11.400 triliun atau lebih besar dari PDB Indonesia saat ini. Target deklarasi Rp 5.000 triliun dipasang dan kemudian tebusan pajak diharapkan Rp 165 triliun. Jika melihat perkembangan kebijakan tax amnesty sebulan terakhir, pemerintah harus mengatur ulang strateginya sebelum terlambat
Rasio Pajak
Sisi penerimaan negara dari sektor pajak sebetulnya menyimpan masalah klasik selalu tidak tercapai target sejak 7 tahun silam. Pada tahun 2010 kinerja perolehannya 98,1 persen, tahun 2011 agak Iebih baik dengan kinerja 993 persen. Namun, setelah itu kinerjanya terus-menerus merosot, yaitu 943 persen (2012),
92.4 persen (2013), 913 persen (2014), dan 83 persen (2015).
Betapapun sebetulnya sangat tidak relevan mempersoalkan rendahnya rasio pajak Indonesia. Secara kumulatif, sepintas rasio pajak Indonesia sangat rendah dibandingkan negara-negara sekawasan. Berdasar data tahun 2011, Vietnam tercatat mengenakan rasio pajak tertinggi di ASEAN dengan
21.5 persen, berikutnya Thailand (19,5 persen),
Malaysia (18,8 persen), dan Indonesia (13,3 persen). Betapapun rasio pajak Indonesia tidak begitu buruk karena jika dikelompokkan berdasar kelompok negara-negara low income, rasio pajak Indonesia sangat wajar.
Di dunia ini, rata-rata rasio pajak negara low income adalah 13 persen, lower-middle income (17,7 persen), dan up-per-middle income (20,7 persen). Menuntut rasio pajak lebih tinggi tentu akan mengundang pertanyaan apakah pantas pendapatan rakyat Indonesia dikelompokkan negara middle income. Rasanya sangat belum!
Rasio pajak Indonesia jika kemudian diuji dengan tagihan SPT Pajak PPh pasal 17 UU PPh justru mengejutkan karena besarnya mencapai 22,863 persen dari total penghasilan. Faktanya, rasio pajak yang kita bayarkan di atas 133 persen sebagaimana dilansir oleh lembaga pemeringkat pajak.
Angka rasio pajak 22,863 persen notabene di atas Singapura, sedangkan fasilitas publik yang diberikan pemerintah kepada warganya sangat jauh dibandingkan Singapura. Mengungkit-ungkit rasio pajak justru akan memicu pertanyaan kepada pemerintah, apa yang akan diberikan pemerintah? Menyelesaikan kemacetan saja tidak mampu, mengendalikan harga daging gagal, kebijakan pendidikan ganti menteri ganti acara, dan masih banyak lagi deretan kegagalan pemerintah lainnya.
Orientasi Proyek
Sebetulnya sudah dapat diduga bahwa kebijakan tax amnesty adalah judul kebijakan proyek kementerian. Beberapa tahun silam sudah ada kebijakan serupa, yaitu sunset policy dan atau pemutihan pajak. Rakyat
didorong melaporkan harta kekayaannya atau menunjukkan harta bendanya dengan sesungguhnya untuk kemudian ditaksir oleh negara berapa pajak yang potensial didapatkan pada tahun depan.
Indonesia dalam banyak hal memang berorientasi proyek, termasuk dalam bidang politik. Ada yang diinvestasikan dengan tujuan mendapatkan benefit lebih tinggi pada waktu berikutnya. Kementerian Perdagangan memilik] proyek impor pangan, BKPM memiliki program PTSP atau 3 jam. Kementerian Agama memiliki program haji. Kementerian Pendidikan memiliki program home-schooling, dan atau Kementerian BUMN memi -liki proyek holding. Setiap kementerian di Indonesia pada saat ini memiliki masing-masing sedikitnya satu proyek unggulan dalam rangka menaikkan posisi bargaining politik dan kinerja
Dari setiap proyek akan didapatkan sejumlah anggaran APBN. DPR kemudian mempunyai pekerjaan dalam bentuk rapat-rapat untuk membahas proyek tersebut Terjadilah kompromi dan deal-deal khusus dan ujung-ujungnya belanja negara yang dibiayai dari pajak rakyat
Inilah kebijakan yang sebetulnya berorientasi proyek, untuk menunjukkan bahwa seseorang mempunyai program kerja, agar tampak serius pada saat fit and proper. Mengenai hasilnya tidak ada yang tahu siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban. ladi, saat ini harus ditanyakan ulang, apakah memang ada Rp 11.400 triliun harta orang Indonesia di luar negeri itu. Jangan-jangan kita sudah kejangkitan penyakit gagap seperti insiden harta revolusi Indonesia, harta gaib bangsa mdonesia, dan seterusnya. (•)

No comments:

Post a Comment