Politikus Lebih "Lucu" dari Mukidi
Oleh M SUBHAN SD
Di panggung politik, akal sehat mudah dilumpuhkan. Pikiran yang irasional gampang disulap menjadi rasional. Cara-cara yang abu-abu atau hitam sekalipun bisa berubah menjadi putih. Syahwat kuasa yang rakus, serakah, hipokrit, bebal rasanya menjadi watak yang tak perlu disembunyikan lagi Sebaliknya, wa-tak-watak baik di panggung politik barangkali semakin dalam tertimbun di bawah lumpur. Kalaupun tersisa, lebih tampak bombastis dalam bentuk slogan, visi-misi, kampanye, dan janji-janji. Tidak sedikit kebenaran datang dari ratifikasi yang terus-menerus.
Akibatnya, tidak sedikit pula produk politik yang mengagetkan. Keputusan politik terbaru adalah diperbolehkannya terpidana yang menjalani hukuman percobaan sesuai putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum untuk ikut pemilihan kepala daerah (pilkada). Begitulah keputusan yang diambil di DPR saat para politikus di Komisi II melakukan rapat dengar pendapat dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Kementerian Dalam Negeri, Jumat (26/8) lalu.
Politikus beralasan bahwa terpidana hukuman percobaan belumlah inkracht Putusan itu baru inkracht setelah hukuman percobaan dilalui Dan, hukuman jenis itu biasanya juga tindak pidana ringan yang tidak disertai penahanan. Jadi. kata politikus DPR, seharusnya itu tidak menghilangkan hak politik seseorang untuk dipilih dalam pilkada. Sayangnya, mereka cuma melihat dari sisi hak seseorang. Padahal, porsi terbesar menjadi pemimpin (kepala daerah) adalah berurusan dengan publik, yang juga punya hak mendapatkan pemimpin yang tidak cacat moral atau tidak terlibat perbuatan kriminal (apa pun bentuk hukumannya).
Terpidana hukuman percobaan-walau belum dilewati-tidak menghilangkan status orang hukuman. Jadi, seberapa ringan pun kesalahannya (hukumannya) tetaplah tergolong "manusia bermasalah dengan hukum". Rasanya aneh kalau pemimpin, yang kata Napoleon Bonaparte (1769-1821) adalah pembawa harapan, justru belum selesai dengan dirinya sendiri. Pemimpin adalah sosok yang punya kapasitas, kredibilitas, integritas, moralitas di atas rata-rata. Di mana pun di dunia ini, pemimpin yang baik, bersih, berintegritaslah yang dicari. Bukan malah yang masuk kategori terpidana.
Jadi, kelihatan sekali betapa kepentingan dan ego politikus dan parpol begitu dominan. Kalau mereka berpikir kepentingan rakyat, mustahil pikiran aneh itu sampai menjadi keputusan politik. Mengapa yang dituntut keadilan hanya untuk politikus terpidana itu? Bagaimana dengan "keadilan rakyat, pemegang mandat kuasa dinegeri ini? Jelas sekali para politikus sedang memikirkan diri sendiri atau teman-teman se-partainya, bukan tengah memikirkan rakyat Untung saja masih ada politikus yang tidak setuju dengan keputusan kontroversial itu.
Kalau mencermati tingkah politikus kita, bukan kali ini saja upaya coba-coba (fes/ case) untuk mengganggu demokrasi. Di injury time akhir masa tugas pada akhir September 2014, misalnya, DPR periode 2009-2014 bikin heboh ketika memutuskan kepala daerah dipilih kembali oleh DPRD, tidak lagi melewati pilkada langsung. Demokrasi langsung dihentikan dan dikembalikan seperti 10 tahun sebelumnya.
Padahal, partisipasi langsung rakyat dalam pilkada merupakan satu-satunya kemewahan yang dimiliki rakyat Polemik yang bikin heboh itu membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada akhir masa jabatannya itu turun tangan. SBY pun menerbitkan dan menandatangani dua peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terkait pelaksanaan pilkada. Kewenangan DPRD untuk melaksanakan pilkada pun dihapus lagi
Test case lain seiring mencuatnya calon perseorangan. Ketika calon perseorangan disambut antusias seiring momentum Basuki Tjahaja Purnama alin Ahok memilih jalur perseorangan pada Maret 2016, kontan para politikus dan partai politik kebakaran jenggot Cara Basuki itu dianggap gerakan deparpolisasi alias mengerdilkan parpol. Padahal, jalur perseorangan sah sesuai konstitusi Jalur perseorangan tidak mematikan jalur parpol. Memang terlihat sekali kecemasan parpol yang merasa "terancam", terlebih jika mereka tidak juga memperbaiki citra parpol
Jadi, terkonfirmasi sudah bahwa struktur demokrasi tidak makin kokoh. Kegaduhan terus-menerus merapuhkan demokrasi Para pensiunan jenderal pun berebut kursi Ketua Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia. Padahal politik semestinya menjadi ladang per-semaian kebajikan (.virtue), bukan sebatas berburu kuasa. Tak heran, indeks demokrasi The Economist Intelligence Unit (2015) "menempatkan demokrasi di Indonesia tetap cacat (flawed democracies). Dari lima parameter, budaya politik (politicalculture) merupakan kategori paling rendah (6.25). di bawah pemilu dan pluralisme (7,75), fungsi pemerintahan (7J.4), partisipasi politik (6,67), dan kebebasan sipil (735).
Senyampang kisah politikus, menyebarlah cerita-cerita Mukidi di media sosial. Mukidi stories yang nyeleneh, aneh, naif, unik, innocent, me-nertawai diri sendiri seperti oase di tengah kesumpekan kehidupan, termasuk pentas politik. Kisah-kisah Mukidi mengundang tawa dan menghibur. Kisah politikus kita juga kerap membuat kita terpingkal-pingkal Jangan-jangan politikus kita lebih "lucu" dari Muladi, ya
No comments:
Post a Comment