Hoki Mukidi
Hendrika Y.
Apakah pagi ini Anda sudah mendapat cerita baru tentang Muladi? Nama Mukidi mendadak tenar dua pekan belakangan, menggantikan popularitas Wonokai-run yang ngetop dengan kisah-kisah konyol beberapa tahun lalu. Bisa jadi Anda sudah bosan karena dongeng Mukidi yang begitu-begitu saja, lama kelamaan tak ada lucunya lagi. Toh popularitas Mukidi sudah memberi berkah pada seorang pengusaha dan petani kopi.
Nama asli petani dan pengusaha kopi di lereng Gunung Sumbing ini adalah Mukidi. Kopinya bermerek Kopi Mukidi dan Kopi Jawa Selain itu, Mukidi juga menjual beberapa varian kopi, seperti Arabica Wono-tirto yang belakangan banyak dicari orang. Sebelum Mukidi lucu jadi trending topic, kopi jualan Mukidi laku sekitar 1 kilogram sehari. Sekarang, ia harus menyediakan sekitar 10 kilogram kopi. Dalam tiga hari temannya di Facebook mencapai 5.000. Pokoknya Mukidi Kopi juga ikut terkenal dan hoki.
Sayang, kabar buruk membayangi. Panen kopi di Jawa Tengah, termasuk Temanggung tempat kopi Muladi berasal, turun 50% karena cuaca tak menentu.
Kabar serupa juga terdengar dari belahan Indonesia lain, seperti Kin-tamani, Bali. Sebagai produsen kopi Bali. Kintamani merupakan kebun dengan area paling luas dan panen-an paling banyak, dibanding wilayah lain seperti Pupuan atau Plaga.
Penurunan panen kopi di Kintamani memang terjadi karena banyak faktor, bukan semata cuaca tak menentu. Misalnya saja, penurunan area kebun kopi di Bali. yang tadinya 14.000 menjadi setengahnya. Para petani kopi juga beralih ke komoditas lain, seperti jeruk, karena harganya lebih mahal.
Komoditas seperti kopi memang rentan dengan cuaca. Tapi, bukan berarti hal itu jadi kendala besar yang tidak dapat diatasi. Pasalnya, seperti pernah dikisahkan Mukidi. banyak pula petani kopi yang tidak merawat pohon mereka. Pohon kopi dibiarkan tumbuh bersama semak-semak yahg meninggi. Hal sama terjadi di Kintamani.
Alhasil, kualitas dan kuantitas bui kopi terus menurun. Petani pilih menjual dengan cara tebas, hingga harganya murah.
Sayang sekali padahal kopi serupa dapat jadi bahan baku kedai kopi mahal di mal. Sampai kini, bisnis kedai kopi masih menjamur, namun hanya segelintir petani dan pengusaha hulu kopi yang menikmati berkahnya. Nah, pekerjaan rumah instansi terkait menanti di ladang kopi, yakni menambah petani yang hoki, seperti Mukidi.
Hendrika Y.
Apakah pagi ini Anda sudah mendapat cerita baru tentang Muladi? Nama Mukidi mendadak tenar dua pekan belakangan, menggantikan popularitas Wonokai-run yang ngetop dengan kisah-kisah konyol beberapa tahun lalu. Bisa jadi Anda sudah bosan karena dongeng Mukidi yang begitu-begitu saja, lama kelamaan tak ada lucunya lagi. Toh popularitas Mukidi sudah memberi berkah pada seorang pengusaha dan petani kopi.
Nama asli petani dan pengusaha kopi di lereng Gunung Sumbing ini adalah Mukidi. Kopinya bermerek Kopi Mukidi dan Kopi Jawa Selain itu, Mukidi juga menjual beberapa varian kopi, seperti Arabica Wono-tirto yang belakangan banyak dicari orang. Sebelum Mukidi lucu jadi trending topic, kopi jualan Mukidi laku sekitar 1 kilogram sehari. Sekarang, ia harus menyediakan sekitar 10 kilogram kopi. Dalam tiga hari temannya di Facebook mencapai 5.000. Pokoknya Mukidi Kopi juga ikut terkenal dan hoki.
Sayang, kabar buruk membayangi. Panen kopi di Jawa Tengah, termasuk Temanggung tempat kopi Muladi berasal, turun 50% karena cuaca tak menentu.
Kabar serupa juga terdengar dari belahan Indonesia lain, seperti Kin-tamani, Bali. Sebagai produsen kopi Bali. Kintamani merupakan kebun dengan area paling luas dan panen-an paling banyak, dibanding wilayah lain seperti Pupuan atau Plaga.
Penurunan panen kopi di Kintamani memang terjadi karena banyak faktor, bukan semata cuaca tak menentu. Misalnya saja, penurunan area kebun kopi di Bali. yang tadinya 14.000 menjadi setengahnya. Para petani kopi juga beralih ke komoditas lain, seperti jeruk, karena harganya lebih mahal.
Komoditas seperti kopi memang rentan dengan cuaca. Tapi, bukan berarti hal itu jadi kendala besar yang tidak dapat diatasi. Pasalnya, seperti pernah dikisahkan Mukidi. banyak pula petani kopi yang tidak merawat pohon mereka. Pohon kopi dibiarkan tumbuh bersama semak-semak yahg meninggi. Hal sama terjadi di Kintamani.
Alhasil, kualitas dan kuantitas bui kopi terus menurun. Petani pilih menjual dengan cara tebas, hingga harganya murah.
Sayang sekali padahal kopi serupa dapat jadi bahan baku kedai kopi mahal di mal. Sampai kini, bisnis kedai kopi masih menjamur, namun hanya segelintir petani dan pengusaha hulu kopi yang menikmati berkahnya. Nah, pekerjaan rumah instansi terkait menanti di ladang kopi, yakni menambah petani yang hoki, seperti Mukidi.
No comments:
Post a Comment