Selamatkan Generasi Bangsa dari Bahaya Rokok
SUDAH
sejak lama orang mendiskusikan akibat buruk tembakau yang berbungkus
kertas putih ini. Mulai dari pakar kesehatan sampai dengan ahli agama
dengan kacamatanya masing-masing. Mereka menyimpulkan bahwa rokok
itu lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Namun demikian, selama
itu pula belum ada kebijakan tegas dari pemerintah mengenai upaya
menekan angka perokok terutama bagi para perokok pemula.
Upaya mencantumkan kata-kata peringatan pemerintah mengenai bahaya rokok di setiap kemasan rokok hingga menempelkan gambar yang menyeramkan sebagai akibat buruk rokok,
temyata belum juga membuat kaum perokok takut dan mengambil keputusan
berhenti atau mengurangi kebiasaan merokok. Bahkan, angka perokok pun
bukannya berkurang, malah semakin bertambah, tidak terkecuali dari
kalangan anak-anak dan kaum perempuan.
Belakangan muncul wacana menaikkan harga rokok hingga menembus angka Rp 50.000/bungkus atau mengalami kenaikan 300% dari harga
sebelumnya. Hal itu pun banyak mendapat tanggapan masyarakat. Bermula
dari hasil penelitian studi Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Dinyatakan bahwa
berdasarkan hasil survei terhadap 1.000 responden dari 22 provinsi
dengan tingkat penghasilan di bawah Rp 1 juta sampai di atas Rp 20 juta,
82% responden setuju jika harga rokok dinaikkan untuk mendanai JKN.
Kemudian ditanyakan kepada responden, berapa harga rokok maksimal yang sanggup dibeli? Hasilnya 72% menyatakan niatnya berhenti jika harga rokok
sampai Rp 50.000/bungkus. Dokumen ilmiah inididukung oleh penelitian
lain tentang menurunnya angka perokok aktif di beberapa negara yang
menerapkan kebijakan menaikkan harga rokok yang signifikan.
Bila dipahami dari kronologis wacana pemerintah menaikkan harga rokok
hingga Rp 50.000/bungkus, di antaranya untuk menurunkan angka perokok
aktif. Masyarakat yang umumnya berpenghasilan rendah, anak-anak, dan
remaja, sebagai kelompok yang paling berisiko dari dampak negatif rokok, agar lebih dapat terselamatkan. Bila harga rokok
sekarang yang masih murah, dapat dibeli oleh masyarakat miskin dan
sangat terjangkau dengan uang saku anak-anak sekolah, memungkinkan
mereka dapat dengan leluasa memenuhi ketercanduannya terhadap tembakau.
Bukan berarti bagi kelompok masyarakat yang berpenghasilan tinggi, rokok
tidak berdampak negatif. Namun, bila dibandingkan dengan mereka, akibat
kerugiannya jauh akan lebih besar. Bila seorang yang miskin lebih
mendahulukan membeli sebungkus rokok
daripada menyediakan beras, bagaimana dengan kebutuhan makan
keluarganya? Demikian pula jika seorang pelajar lebih mementingkan uang
jajannya untuk sebatang rokok daripada memenuhi kebutuhan sekolahnya, bagaimana dengan prestasi belajar mereka?
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut sejatinya menjadi catatan besar bagi pemerintah dalam rangka
menciptakan kesejahteraan rakyat dan mempersiapkan penerus pembangunan
bangsanya. Padahal, menurut catatan dari WHO, berdasarkan hasil survei
yang dilakukan pada 2014 terhadap siswa sekolah usia 13-15 tahun di
Indonesia, terungkap bahwa 36,2% laki-laki dan 4,3% perempuan
mengonsumsi tembakau. Artinya, ancaman rokok bagi anak-anak, generasi penerus kita bukan lagi isapan jempol. Jika tidak diselamatkan dari sekarang, mau kapan lagi?
Terima
kasih saya sampaikan kepada Pikiran Rakyat atas dimuatnya surat ini.
Lajunya angka ekonomi nasional tidak berarti dengan cara mengabaikan
masa depan generasi bangsa. Mari selamatkan anak-anak kita dari bahaya rokok.
Pikiran Rakyat 29 Agustus 2016
No comments:
Post a Comment