Monday, 29 August 2016

Selamatkan Generasi Bangsa dari Bahaya Rokok

SUDAH sejak lama orang mendiskusikan akibat buruk tembakau yang berbungkus kertas putih ini. Mulai dari pakar kesehatan sampai dengan ahli agama dengan kacamatanya masing-masing. Mereka me­nyimpulkan bahwa rokok itu lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Namun demikian, selama itu pula belum ada kebijakan tegas dari pemerintah me­ngenai upaya menekan angka perokok terutama bagi para perokok pemula.

Upaya mencantumkan kata-kata peringatan peme­rintah mengenai bahaya rokok di setiap kemasan rokok hingga menempelkan gambar yang menyeramkan se­bagai akibat buruk rokok, temyata belum juga mem­buat kaum perokok takut dan mengambil keputusan berhenti atau mengurangi kebiasaan merokok. Bah­kan, angka perokok pun bukannya berkurang, malah semakin bertambah, tidak terkecuali dari kalangan anak-anak dan kaum perempuan.

Belakangan muncul wacana menaikkan harga rokok hingga menembus angka Rp 50.000/bungkus atau mengalami kenaikan 300% dari harga sebelumnya. Hal itu pun banyak mendapat tanggapan masyarakat. Bermula dari hasil penelitian studi Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Dinyatakan bahwa berdasarkan hasil survei terhadap 1.000 responden dari 22 provinsi dengan tingkat penghasilan di bawah Rp 1 juta sampai di atas Rp 20 juta, 82% responden se­tuju jika harga rokok dinaikkan untuk mendanai JKN.

Kemudian ditanyakan kepada responden, berapa harga rokok maksimal yang sanggup dibeli? Hasilnya 72% menyatakan niatnya berhenti jika harga rokok sampai Rp 50.000/bungkus. Dokumen ilmiah inididukung oleh penelitian lain tentang menurunnya angka perokok aktif di beberapa negara yang menerap­kan kebijakan menaikkan harga rokok yang signifikan.

Bila dipahami dari kronologis wacana pemerintah menaikkan harga rokok hingga Rp 50.000/bungkus, di antaranya untuk menurunkan angka perokok aktif. Masyarakat yang umumnya berpenghasilan rendah, anak-anak, dan remaja, sebagai kelompok yang paling berisiko dari dampak negatif rokok, agar lebih dapat terselamatkan. Bila harga rokok sekarang yang masih murah, dapat dibeli oleh masyarakat miskin dan sa­ngat terjangkau dengan uang saku anak-anak sekolah, memungkinkan mereka dapat dengan leluasa meme­nuhi ketercanduannya terhadap tembakau. Bukan be­rarti bagi kelompok masyarakat yang berpenghasilan tinggi, rokok tidak berdampak negatif. Namun, bila dibandingkan dengan mereka, akibat kerugiannya jauh akan lebih besar. Bila seorang yang miskin lebih men­dahulukan membeli sebungkus rokok daripada menye­diakan beras, bagaimana dengan kebutuhan makan keluarganya? Demikian pula jika seorang pelajar lebih mementingkan uang jajannya untuk sebatang rokok daripada memenuhi kebutuhan sekolahnya, bagai­mana dengan prestasi belajar mereka?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut sejatinya menjadi catatan besar bagi pemerintah dalam rangka mencip­takan kesejahteraan rakyat dan mempersiapkan pe­nerus pembangunan bangsanya. Padahal, menurut catatan dari WHO, berdasarkan hasil survei yang di­lakukan pada 2014 terhadap siswa sekolah usia 13-15 tahun di Indonesia, terungkap bahwa 36,2% laki-laki dan 4,3% perempuan mengonsumsi tembakau. Arti­nya, ancaman rokok bagi anak-anak, generasi penerus kita bukan lagi isapan jempol. Jika tidak diselamatkan dari sekarang, mau kapan lagi?

Terima kasih saya sampaikan kepada Pikiran Rak­yat atas dimuatnya surat ini. Lajunya angka ekonomi nasional tidak berarti dengan cara mengabaikan masa depan generasi bangsa. Mari selamatkan anak-anak ki­ta dari bahaya rokok.

Pikiran Rakyat 29 Agustus 2016

No comments:

Post a Comment