Monday, 24 October 2016

Etos Keteladanan Guru
(Tanggapan terhadap tulisan Arif Jamali Muis)
TULISAN Arif Jamali Muis berjudul 'Berharap Pada Guru Pembelajar' (KR, 20/10) sebagai jawaban atas kritik keras banyak kalangan terhadap standar profesionalisme guru terkesan reaktif. Ada beberapa jawaban yang membela posisi guru yang saat ini berlabel 'profesional' yang tidak memiliki kecermatan logika dan bias faktual. Guru profesional dianggap akan bisa dibentuk dengan 'proyek' bernama Program Guru Pembelajar. Program yang tentu saja dengan alokasi anggaran puluhan miliar untuk mendidik dan melatih guru yang hasil Uji Kompetensi Guru (UKG)-nya di bawah nilai standar.
Definisi guru profesional, sesungguhnya tidak bisa diukur dengan standar nilai kognitif atau kelulusan dalam ajang program pendidikan dan pelatihan guru yang berbiaya mahal. Guru profesional melekat dengan mindset atau wawasan berpikir, perilaku dan juga kinerja yang didasari integritas serta kecakapan akademis. Salah Kaprah
Guru profesional adalah definisi 'konseptual' yang diamanatkan UU Guru dan Dosen. Sebagai guru profesional maka diberikan reward tunjangan profesi guru. Jadi salah kaprah jika ada anggapan tunjangan sertifikasi guru adalah hanya sekadar untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Jika tujuan meningkatkan kesejahteraan guru maka idealnya tunjangan profesi guru diberikan kepada semua guru tanpa diskriminasi.
Penulis memiliki pengalaman 40 tahun menjadi guru dan menjalankan tugas mendidik siswa dengan gaji dan tunjangan sangat minim. Namun jutaan guru di masa lalu mengajar dengan ikhlas dan penuh dedikasi. Banyak guru di masa lalu yang menjadi 'pembelajar' secara otodidak dengan aktif membaca media dan banyak buku ilmu pengetahuan yang relevan dengan bidang tugas mengajar di sekolah.
Pegangan filsafati mengajar adalah kalimat bijak Ki Hadjar Dewantara : "Menjadi guru adalah kehormatan karena dimuliakan ilmunya
Kusmanto
dan dijadikan panutan perilakunya. Guru adalah yang bekerja di ladang pendidikan dan kebudayaan." Pernyataan Ki Hadjar Dewantara tersebut menjadi inspirasi bagi guru untuk benar-benar menjalankan tugas pokok dan fungsi sebagai pendidik yang melayani.
Guru profesional seharusnya benar-benar memiliki kapasitas dalam hal akademis, dan kemampuan unggul dibanding profesi lain. Menjadi guru profesional tidak bisa hanya melalui diklat PLPG atau program guru pembelajar yang berorientasi proyek. Guru harus secara mandiri mengembangkan ilmu pengetahuan, minat baca dan kemampuan menulis. Guru idealnya juga bisa mengembangkan diri dalam kapasitas sebagai penyusun modul dan buku materi ajar yang akan disampaikan pada siswa.
Untuk menjadi guru profesional dibutuhkan proses panjang. Proses panjang menjadi guru teladan pertama, mengembangkan etika kedisiplinan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi sebagai tenaga edukatif. Kedisiplinan adalah ukuran normatif dasar sebagai sosok profesional yang tidak bisa ditawar. Kedua, guru mengembangkan minat membaca dan menulis. Ketiga, guru hendaknya teguh dalam perilaku yang bijak, bajik dan berbudi. Perilaku yang hidup dalam kebersahajaan dan juga senantiasa selalu merefleksikan diri apakah dirinya masih layak dianggap sebagai 'juru pamomong' bagi anak didik/siswa. Guru adalah yang digugu (dianut) dan ditiru" (diteladani).
Etos Keteladanan
Adalah keliru pandangan Arif Jamali   Muis   yang  terlampau
menggunakan logika 'angka' untuk menilai profesionalitas guru. Data yang disuguhkan tentang hasil UKG Guru tahun 2015 justru semakin menunjukkan kecakapan akademis -pengetahuan kognifif—guru yang berstatus profesional sangat memprihatinkan. Metode penyelesaian bukan dengan 'proyek'namun mengubah mindset guru. Guru idealnya memiliki mindset sebagai cendekiawan dan bukannya hanya sebagai penyampai materi ajar. Jalan strategisnya adalah pembudayaan aktivitas literasi dan diskusi di kalangan guru.
Yang juga sangat diperlukan bagi siswa saat ini adalah etos keteladanan guru. Maka sangat memprihatinkan jika membaca berita media tentang perilaku guru saat ini. Banyak cerita guru melakukan kekerasan pada siswa, pelecehan seksual, gaya hidup mewah, dan juga guru yang terjerat kasus korupsi. Logikanya guru saat ini harus lebih unggul dalam kecerdasan ilmu dan lebih berbudi pekerti dibanding guru di masa lalu yang hidupnya susah. □ - k
*)Drs Kusmanto, Guru Terbaik Akuntansi Jawa Tengah 1994, kini pensiun.

No comments:

Post a Comment