Monday, 21 November 2016

Ahok Melawan Dirinya Sendiri
 
CUKUP disayangkan, setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penistaan agama oleh Bareskrim Polri, Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) justru menyatakan bangga menjadi tersangka. Dia menyamakan dirinya dengan tokoh besar Afrika Selatan, Nelson Mandela, yang setelah dipenjara kemudian menjadi presiden Afsel.
Rupanya, kasus penistaan agama yang menjadi gelembung politik besar dan menciptakan sikap antipati masyarakat, khususnya kalangan umat Islam terhadap dirinya, tidak cukup menggugah kesadaran diri Ahok terhadap posisinya saat ini. Posisi sebagai pribadi dan
warga negara ataupun sebagai calon gubernur DKI Jakarta yang sedang running dalam pilkada.
Menurut Alfan Alfian, pengamat dari Universitas Indonesia, pernyataan bangga sebagai tersangka itu tidak etis dalam kultur politik negeri ini, yang mulai menghargai integritas pejabat negara. Hampir sama dengan Alfan, Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JAjuga menilai statuster-sangka sudah tidak sejalan dengan tradisi tata kelola pemerintahan yang baik {good governance).
Sebagaimana diberitakan di berbagai media cetak ataupun online, selain mengaku bangga sebagai tersangka kasus penistaan agama, Ahokjuga menyebut anaknya bangga ayahnya bukan sebagai ter-
sangka korupsi.
Pernyataan dan komentar Ahok itu jelas sangat mengejutkan dan menyentak nurani banyak orang. "Keberanian" dia mengucapkan ujaran-ujaran yang dapat menimbulkan kebencian khalayak itu, menimbulkan tanda tanya di kalangan banyak kalangan.
Lazimnya, seorang tokoh dari kalangan warga mayoritas negeri ini saja akan berpikir seribu kali untuk mengeluarkan pernyataan yang dapat menyinggung perasaan warga lain, terutama dari kalangan warga minoritas.
Mantan ketua umum MUI Din Syamsuddin dalam sebuah pesan pribadi yang sudah menjadi viral di media sosial mengatakan, dia menduga ada kekuatan besar yang sedang melindungi Ahok. Tidak disebutkan kekuatan besar itu berupa kekuasaan politik, ekonomi, atau aliansi tertentu.
Karena itu, Din menegaskan,
hal yang membuatnya tidak suka kepada Ahok bukan karena dia seorang Kristiani atau keturunan Tionghoa, melainkan sikap dan pernyataannya yang merusak kerukunan hidup beragama yang sudah dirajut dan dipelihara selama ini. Blunder Sendiri
Kaitannya dengan kebanggaan Ahok sebagai tersangka penistaan agama tentu menimbulkan penafsiran beragam. Din boleh menduga ada kekuatan di balik itu. Namun yang pasti, untuk seorang politikus sekaligus pernah menjadi pejabat negara, pernyataan kontroversial dan konfrontatif terhadap norma umum biasanya terkait dengan konsep diri.
Secara sosio-antropologis, seseorang membangun kesadaran diri dari konsep diri yang dikembangkan melalui tahapan sosialisasi. Dari tahapan itulah seseorang menemukan jati dirinya dan diterima oleh lingkungannya melalui interaksi sosial.
Apakah Ahok keliru membangun konsep diri atau mengalami problem psikologis sehingga seperti tidak menyadari berbagai blunder pernyataannya yang nyata-nyata merugikan diri sendiri, bahkan juga komunitas dan koalisi partainya dalam Pilkada DKI Jakarta 2017?
Sebagaimana rilis Denny JA melalui hasil survei LSI pada Jumat (18/11), setelah menjadi tersangka, sekitar60 persen dari 24,6 persen pendukung lamanya pergi meninggalkan Ahok. Disebutkan, "eksodus" paling mencolok adalah pemilih PDIP, kalangan minoritas, dan segmen pemilih menengah ke atas. Mereka adalah segmen pemilih yang selama ini kokoh di belakang Ahok.
Berbagai survei lain juga menyebutkan penurunan elek-tabilitas Ahok yang cukup tajam dari sebelum kasus Al-Maidah ayat 51 hingga penetapannya sebagai tersangka. Artinya, semua kerugian politik ataupun
nonpolitikyang dialami Ahok bersumber dari dirinya. Jadi, sesungguhnya, dia bukan se-
dang melawan banyak orang melainkan melawan dirinya sendiri. (10)

No comments:

Post a Comment